CERITA
SEJARAH
ANAK KAMPUNG TULUNGAGUNG
MENURUT KETURUNAN
GARIS IBU
(CICI SETIYOWATI)
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono,
M.Pd
Oleh
Cici Setiyowati
130731615710
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
September 2013
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2
Rumusan Masalah
2
1.3 Tujuan
2
1.4 Metode
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kehidupan Keluarga Cici Setiyowati
Sebelum Tahun 90-an
4
2.1.1 Fase Pertama (Sonomejo—Sukinah) 4
2.1.1 Fase Pertama (Sonomejo—Sukinah) 4
2.1.2 Fase
Kedua (Kromomejo—Kanijah)
5
2.1.3 Fase Ketiga (Djuwari—Supinah)
7
2.2 Selayang
Pandang
Sejarah Kehidupan Cici Setiyowati
9
2.2.1
Selayang
Pandang Ibu (Ibu Sutini)
9
2.2.2 Selayang pandang Ayah (Bapak Muslan)
10
2.2.3 Selayang
Pandang Ayah dan Ibu
12
BAB
III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
20
3.2 Saran
20
DAFTAR RUJUKAN
21
LAMPIRAN
22
2.1
Mbah Kanijah bersama anak dan cucunya (Juli 1986) 6
2.2 Mbah Djuwari dan mbah Supinah (2012) 7
2.3
Ayah-Ibu ditahun 20129
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
“Keluarga merupakan pranata sosial
yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial, diibaratkan bagai jembatan
yang menghubungkan individu yang berkembang dengan kehidupan sosial di mana ia
sebagai orang dewasa kelak harus melakukan peranannya”, Ihromi (1999:284). Disinilah keluarga sangat berperan pada diri setiap individu. Keluarga sangat memberikan pengaruh besar terhadap
kepribadian seseorang. Ntah itu akan membentuk karakter yang lebih baik ataupun
sebaliknya. Dengan demikian, untuk memahami sebuah konflik kita perlu belajar
dari setiap peristiwa di masa lalu yaitu sejarah.
Dengan mengetahui bagaimana sejarah
kita dan keluarga kita, akan memberikan cerminan kepada kita akan jati diri kita yang nantinya bisa dijadikan
landasan bagaimana kita bersikap untuk kedepannya. Setiap individu memiliki sejarah keluarga masing-masing
dan berbeda-beda baik dari lingkup sosial maupun perekonomian. Bahkan perbedaan
itu tidak hanya terjadi pada keluarga individu dengan individu lainnya.
Perbedaan itu bisa terjadi dalam satu keluarga individu itu sendiri. Seperti
halnya budaya kakek-nenek kita pada zaman dahulu berbeda dengan budaya kita
pada saat ini.
Perbedaan
tahun dan arusnya globalisasi memberikan perbedaan jauh pada setiap peristiwa
dan budaya yang terjadi pada masa lalu dengan masa kini. Bahkan dengan arus
globalisasi yang pesat meninggalkan kebudayaan Jawa yang telah tertanam pada
nenek-kakek kita dahulu. Maka tidak dapat dipungkiri, untuk meng-filter itu semua kita perlu mengetahui
bagaimana sejarah keluarga kita dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidup kita. Agar kita dapat memisahkan dan membenahi budaya yang tak layak
untuk diteruskan dan budaya yang perlu dipertahankan. Selain itu, dengan
belajar masa lalu kita dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik. Ntah sikap
pada diri kita maupun tindakan kita
untuk menyikapi sebuah permasalahan. Tak halnya pada penulis, penulis juga belajar
dengan cerita kehidupan dirinya sendiri dan keluarga penulis sendiri agar tidak
salah pilih dalam bertindak. Dengan demikian makalah ini di buat dengan judul
“Cerita Sejarah Anak Kampung Tulungagung Menurut Keturunan Garis Ibu (Cici
Setiyowati)”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
alur cerita keluarga Cici Setiyowati sebelum tahun 90-an?
2. Bagaimana
sejarah kehidupan Cici Setiyowati?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
sejarah kekelurgaaan Cici Setiyowati sebelum tahun 90-an
2. Mengetahui
alur cerita kehidupan Cici Setiyowati
1.4 Metode
Dalam penelitian sejarah ini mempunyai lima tahap,
yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah,
keabsahan sumber), interpretasi: analisis dan sintesis, dan penulisan,
Kuntowijoyo (1995:91).
A.
Pemilihan
Topik
Pemilihan
topik yang dipilih oleh penulis ialah sejarah keluarga penulis sendiri, karena
penulis ingin mengetahui bagaimana alur cerita kehidupan keluarga penulis baik
secara ekonomi, sosial dan kekeluargaannya di masa lalu. Yang mana sejarah
keluarga tersebut sangat berliku-liku sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga
di masa sekarang, yang sangat menarik untuk disimak.
B.
Pengumpulan
Sumber
Data
yang dikumpulkan penulis ialah melalui dua sumber: yaitu sumber tertulis dan
tidak tertulis. Dari sumber tertulis, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen
keluarga seperti surat kerja, kartu keluarga, buku perkawinan, ijasah dan akta
kelahiran. Sedangkan dari sumber tidak tertulis, penulis mencari sumber-sumber
lisan melalui wawancara. Wawancara yang dilakukan penulis tidak hanya kepada
anggota-anggota keluarga yang terlibat. Melainkan penulis mewawancarai
tetangga-tetangga keluarga penulis,
teman-teman penulis yang terlibat dalam kejadian dan beberapa orang-orang yang
ikut tersangkut paut dalam kejadian suatu peristiwa, seperti tragedi Ambon,
yang mana sangat berpengaruh terhadap kehidupan keluarga penulis. Selain itu,
penulis juga mencari sumber-sumber dari kajian pustaka yang membahas tentang
kebudayaan orang Jawa di masa lalu.
C.
Verifikasi
Dalam
mengakaji sumber-sumber, penulis mencoba membandingkan tentang data yang
diperolah melalui dokumen, kabsolutan jawaban dari tiap-tiap nara sumber dan
kajian pustaka yang di dapat oleh penulis.
D.
Interpretasi
Setelah
melakukan perbandingan data, penulis mencoba mengeruaikan tentang permasalahan
yang ada dan mengelompokannya menjadi satu. Kecocokan tanggal, tahun dan cerita
lisan yang dikemukakan oleh para nara
sumber serta dari pengalam pribadi penulis, meyakinkan memang telah ada suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi.
E.
Penulisan
Dalam
penulisan sejarah, penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana cara penulis
memperoleh informasi yang mana di tulis dalam Bab I. Yang kemudian menjelaskan
tentang kronologi yang memang benar terjadi pada Bab II. Dan yang terakhir
penarikan kesimpulan yang di tulis ke dalam bab III.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kehidupan Keluarga Cici Setiyowati Sebelum Tahun 90-an
Tahun
sebelum 90-an
adalah tahun di mana Indonesia masih mengalami masa-masa gelap. Banyak
perbudakan dimana-mana, kerusuhan merajalela, manusia sudah tak lagi mempunyai
hak asasi, serta ketakutan
dan kesedihan menghantui diri pada setiap warga negara.
Disinilah
sejarah keluarga saya mulai beranjak
baik dari segi kemerdekaan
maupun ekonomi, seperti halnya Indonesia yang masih tertatih-tatih dalam mempertahankan kemerdekaan dari segala bentuk ancaman.
2.1.1
Fase Pertama (Sonomejo—Sukinah)
Sonomejo ini adalah kakek dari keluarga saya. Beliau seorang
saudagar yang pada masa itu bisa
dikatakan mampu karena serba berkecukupan, meskipun
secara pendidikan beliau kurang mampu
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beliau hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya
hanya pada tingkat Dasar
saja dan itu pun berterus
berkelanjutan pada masa mbah Supinah yang mana akan dijelaskan pada penjelasan di bawah. Seperti yang kita ketahui bahwa pada
zaman gelap Indonesia tepatnya sebelum orde baru, masyarakat masih mengalami
kesulitan dalam sandang,
pangan, papan. Disinilah
sosok mbah Sonomejo tampil sebagai tokoh yang disegani oleh masyarakat. Meskipun
beliau di lahirkan dari kelurga yang biasa, bukan dari keturunan kerajaan atau
bangsawan, beliau sangat ulet dan
rajin dalam
pekerjaan maupun peranannya
di masyarakat.
Peranannya dalam masyarakat, di antaranya yaitu ikut sertanya beliau dalam
penyumbangan pendirian Masjid di desa setempat secara suka rela. Dalam
mengarungi kehidupannya,
beliau didampingi oleh seorang wanita
yang
setia dan sopan tutur katanya. Beliau adalah mbah Sukinah, peranannya sebagai
istri sangat luar biasa. Selain dia harus mengurus rumah tangga beliau juga turut
serta dalam mencari nafkah
untuk keluarga. Beliau di karuniai lima orang anak bernama Martodiwirdjo,
Kanijah, Waginah, Katiah, dan Maijah. Mbah Kanijah inilah yang nantinya menjadi
garis darah keturunan saya. Dan di tahun 1938 mbah Sonomejo dipanggil oleh Sang
Maha Kuasa. Beliau meninggalkan keluarga untuk selama-selamanya. Atas meninggalnya beliau meberikan duka mendalam
bagi keluarga saya, dimana keluarga saya harus kehilangan sosok pemimpin keluarga
yang baik dan luar biasa.
2.1.2 Fase Kedua (Kromomejo—Kanijah)
Selanjutnya fase kedua masa mbah Kromomejo dan mbah
Kanijah. Mbah Kromomejo ini adalah mantu yang di ambil oleh mbah Sonomejo dari
daerah Suruhan yang masih se-daerah dan merupakan tetangga desa yang
dinikahkannya dengan putri pertamanya, yaitu mbah Kanijah. Beliau dinikahkan
dengan jalan untuk meneruskan jejak mbah Sonomejo. Barulah mbah Kromomejo dan
mbah Kanijah bermata-pencaharian sebagai pedagang dan petani. Dari perkawinan
beliau, mereka di karunia sembilan putra-putri, diantaranya:
1.
Wanijo 6. Musirah
2.
Kasmi 7. Mul
3.
Dulgani 8. panidi
4.
Dini 9. Supinah
5.
Ngairan
Namun
dari kesembilan putra-putrinya tersebut, yang hanya bertahan hingga dewasa
hanya tujuh orang. Almarhum mbah Musirah dan mbah Panidi diambil oleh Sang Maha
Kuasa sejak masih kecil. Jadilah anak mbah Kromomejo dihitung hanya tujuh orang
anak. Sosok mbah Kromomejo tidak berbeda jauh dengan mbah Sonomejo. Selain
ulet, beliau juga sangat dihormati oleh punduduk sekitar dan para tetangganya.
Tak kalah lagi mbah Kanijah, beliau juga sangat dikasihi oleh para
tetangga-tetangganya. Beliau terkenal dengan kedermawannya. Tidak pernah
pandang hulu yang ingin dibantunya ntah itu orang kaya maupun orang yang kurang
mampu. Siapa yang meminta bantuan, mbah Kanijah selalu mengulurkan tangannya
untuk membantu. Baginya di dunia ini hanya titipan dan haruslah untuk saling
membantu.
Gb
.2.1 Mbah Kanijah bersama anak dan cucunya (Juli 1986)
Di
tahun 1961 mbah Kromomejo meninggal. Sepeninggalan beliau, tulang punggung
keluarga beralih pada Mbah Kanijah bersama anak-anaknya. Namun dari ketujuh
anaknya, yang hanya berada di pulau Jawa tinggal bersama beliau hanyalah mbah
Supinah. Seluruh anak-anaknya merantau ke Sumatera dan bertempat tinggal disana
hingga saat ini. Pada tahun 1990 lah mbah Kanijah meninggal dan di makamkan di
Sumatera. Mengapa dimakamkan di Sumatera? karena saat sebelum meninggal, beliau
berkunjung ke Sumatera untuk menengok anak-anaknya dan saat itulah beliau berwasiat
untuk di akhir umurnya ingin berada di Sumatera dan di makamkan disana.
Disitulah tak lama beliau berada di Sumatera, beliau sakit karena tua dan
meninggal dunia di Sumatera.
2.1.3
Fase Ketiga (Djuwari—Supinah)
Gb.2.2
Mbah Djuwari dan mbah Supinah (2012)
Mbah
Djuwari lahir di desa Gandusari, Trenggalek tahun 1938. Beliau adalah putra
dari rekan kerja mbah Kromomejo, yang kemudian dijadikan mantu oleh mbah
Kromomejo. Mbah Supinah, seperti yang dijelaskan di atas, beliau adalah anak
terakhir dari pasangan mbah Kromomejo dan mbah Kanijah. beliau lahir di tahun
1942. Beliau dinikahkan dengan mbah
Djuwari pada tahun 1958. Keduanya dijodohkan guna hubungan perdagangan antar
keluarga. Namun setelah pernikahan, mbah Djuwari dan mbah Supinah ternyata
tidak meneruskan perdagangan orang tuanya. Beliau memilih bertani sebagai mata
pecahariannya. Tidak seperti mbah Sonomejo dan mbah Kromomejo, mbah Djuwari
lebih dikenal keras dan kaku baik di kalangan masyarakat maupun keluarganya.
Bahkan anak-anaknya takut dan selalu menurut (manut ) apa saja yang dikatakan oleh mbah Djuwari. Dari
perkawinannya, mbah Djuwari dan mbah Supinah di karuniai empat orang anak.
Keempat anaknya tersebut ialah Sutini yaitu ibu saya sendiri, Susanto, Sumarmi
(almarhum), dan Enik sri astutik.
Dari
keempat anaknya itu tidak semuanya mendapatkan pendidikan yang layak. Seperti halnya
ibu saya, beliau hanya mengenyam pendidikan hanya tingkat SD saja. Ini
disebabkan karena pada saat itu terjadi rumor di masyarakat bahwa anak
perempuan yang menikah di atas umur 20 tahun di kategorikan sebagai perawan tua.
Selain itu, perempuan masih di anggap awam dalam bekerja secara kasarnya hanya
bisa macak, masak, dan manak. Dari situlah
beliau berpikiran bahwa anak perempuan tidak harus disekolahkan tinggi-tinggi
karena pada akhirnya tetap berada di dapur.
Sedangkan
paman saya pak Susanto, beliau disekolahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi.
Karena anak laki-laki masa itu dianggap sosok yang pantas menjadi penerus dan
pemimpin di masyarakat, sehingga wajib untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Sedangkan
untuk bibi saya, almarhum bulik Sumarmi dan Enik Sri Astutik keduanya sudah
dapat merasakan pendidikan yang tinggi walaupun ketingkat SMA. Namun dengan
ijasah SMA masa itu, saya rasa sudah layak untuk mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan perempuan. Karena dengan ijasah tersebut, bisa dipergunakan untuk
bekerja kantor Desa sebagai Perangkat Desa dan tidak harus berpanas-panasan di
tengah sawah. Mengapa semuanya terjadi? Inilah yang disebut dengan evolusi cara
pikir manusia menuju ke arah modern. Masyarakat saat itu mulai berpandanagn bahwa
pendidikan itu penting dan semua layak untuk mendapatkannya. Seperti yang
dikatakan Koentjaraningrat (2009:152):
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak
terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan
memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan
dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya,
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula
pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.
Selain
perubahan cara pikir manusia itu, disebabkan adanya program pemerintah yang
mencanangkan wajib sekolah 9 tahun.
2.2
Selayang Pandang Sejarah Kehidupan Cici Setiyowati
Sejarah
kehidupan saya berawal dari romansa kedua orang tua saya yang di pertemukan
oleh Allah SWT untuk menjadi pasangan yang saling melengkapi dalam mengarungi
bahtera rumah tangga. Dari ikatan suci yang diikrarkan oleh kedua orang tua
saya di depan penghulu itulah saya dilahirkan dan dapat hidup di dunia ini hingga
saat ini. Sebelum saya menjelaskan bagaimana kehidupan saya sejak kecil, terlebih
dahulu akan saya paparkan sekilas bagaimana kehidupan ayah dan ibu saya semasa kecil
hingga dewasa sampai mereka menikah dan melahirkan seorang putri yang sekarang
ini sedang mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Malang.
Gb.2.3
Ayah-Ibu ditahun 2012
2.2.1 Selayang
Pandang Ibu (Ibu Sutini)
Ibu saya lahir pada tanggal 6 Februari 1964. Beliau
anak pertama dari empat bersaudara. Beliau dibesarkan di desa Sambitan
Kecamatan Pakel Kabupaten Tulungagung. Semasa kecil, beliau di didik keras oleh
kakek saya. Sebagai anak pertama beliau harus bisa menjadi panutan untuk adik-adiknya
dan harus ambil andil dari semua dan segala pekerjaan rumah. Baik harus merawat
rumah, menjaga adik-adiknya maupun harus pergi ke ladang untuk membantu kedua
orang tuanya. Beliau mengenyam pendidikan hingga tingkat SD seperti yang di
jelaskan di atas. Beliau dinikahkan pada umur 15 tahun dengan seseorang pemuda
yang sama sekali belum di kenalnya dan jauh di atas umurnya. Memang pada masa
itu di kampung saya budaya perjodohan antar keluarga masih berkembang pesat.
Kala itu ibu saya tak dapat menolak, karena sebagaimana adat dan kakek saya terkenal
begitu keras. Beliau menurut begitu saja, meskipun hati kecilnya sangat menolak.
Memang kala itu rasanya tidak begitu demokratis, perempuan begitu di sepelekan.
Selama perkawinannya beliau tidak merasakan kebahagiaan sama sekali. Bukan
karena suaminya yang kasar atau yang terjadi di masa kini yaitu kekerasan dalam
rumah tangga. Melainkan beliau belum sanggup menjadi istri, umur 15 tahun
rasanya masih terlalu dini untuk menjadi istri. Beliau hanya dapat menjaga
rumah tangganya selama satu tahun. Beliau di pulangkan oleh suaminya dengan
alasan ibu saya belum layak untuk menjadi istri. Jadilah ibu saya menjadi janda
tepatnya janda perawan. Karena selama pernikahan tidak sedikitpun beliau di
sentuh oleh suaminya, bahkan sejak pertama menikah keduanya sudah berbeda
kamar. Kejadian tersebut membuat kakek dan nenek saya murka. Mereka merasa malu tidak dapat mendidik anaknya
menjadi seorang istri yang baik menurut adat Jawa tersebut. Sampailah ibu saya menjadi
orang yang mandiri bekerja keras tanpa bantuan orang tua. Beliau belajar dari
masa lalunya dan memulai kehidupannya dengan mengikuti pelatihan menjahit yang
dicanangkan oleh pemerintah di tiap-tiap desa kala itu. Dengan berjalannya
waktu akhirnya ibu saya menemukan sosok yang layak untuk mendampingi hidupnya yaitu
ayah saya.
2.2.2 Selayang
pandang Ayah (Bapak Muslan)
Ayah
saya lahir dari pasangan mbah Pangat dan mb Pon. Beliau lahir pada tanggal 11
Mei 1957. Beliau anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya itu
ialah Sunar, Wakid dan Jani. Semasa kecil beliau tidak di asuh oleh kedua orang
tuanya. Melainkan di ambil asuh oleh kakek-nenek saya yang sekarang saya kenal yaitu
mbah Wodo dan Musinah. Karena ketika masa itu, perekonomian kakek-nenek saya
yang asli belum bisa mencukupi keperluan anaknya. Nenek saya harus menitipkan
anak pertamanya yaitu ayah saya kepada kakak kandungnya yaitu mbah Musinah.
Karena mbah Musinah saat itu sudah dirasa cukup untuk membiayai kehidupan ayah
saya. Ayah saya di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ke Sumatera sejak kecil
ketika masih balita. Ayah saya di angkat dan dijadikan anak kandung oleh mbah
Musinah.
Sejak
kecil ayah saya juga sudah terlihat mandiri. Kenyataan ini di uraikan dengan
seringnya ayah saya pergi ke hutan gunung-gunung untuk mencari sesuatu apa saja
yang dapat di jualnya untuk memenuhi kebutuhannya. Ini semua bukan karena mbah
Wodo tidak mau mencukupi keperluan ayah saya, melainkan semua itu inisiatif dari
ayah saya sendiri. Dengan kemandiriannya sejak kecil membuat ayah saya menjadi
sosok yang ulet, jujur dan bertanggung-jawab. Ketika beranjak dewasa barulah
ayah saya mengetahui akan fakta yang terjadi sesungguhnya. Ketika lulus SMP
beliau dipertemukan oleh mbah Wodo dengan kedua orang tua kandungnya di
Sumatera. Beliau dilepas oleh mbah Wodo dan diserahkan kepada kedua orang tua
aslinya. Namun ternyata terbalik, ayah saya lebih memilih untuk tinggal dan
hidup bersama mbah Wodo ayah angkatnya. Beliau menyusul pergi ke Jawa dan
menetap di Jawa hingga saat ini. Kemudian ayah saya di sekolahkan di SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) Krida setingkat dengan SMA. Di tengah perjalanan, ayah saya
keluar dari sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Bukan karena kekurangan
materi, namun beliau merasa iba kepada kakek-nenek saya mbah Wodo dam mbah
Musinah. Beliau tak ingin lagi merepotkan kedua orang tua angkatnya. Beliau
merasa sudah terlalu banyak yang di berikan mbah Wodo dan mbah Musinah kepada
beliau baik dari kasih sayang, pengajaran, materi bahkan pendidikan formal yang
di berikan kepada beliau. Segala jasa yang diberikan tak dapat ditebusnya oleh
apapun bahkan nyawa sekalipun. Ayah saya tak bisa melupakan semua kasih sayang
yang diberikan kedua orang tua angkatnya tersebut. Beliau sudah menganggap
almarhum mbah Wodo dan mbah Musinah seperti orang tua kandungnya sendiri. Rasa
sayangnya terhadap orang tuanya dan mengahargainnya beliau terhadap jasa orang
tua angkatnya tersebut dibuktikannya dengan tercantumnya mbah Wodo dan mbah
Musinah dalam kartu keluarga hingga saat ini.
2.2.3
Selayang Pandang Ayah dan Ibu
Pertemuan ayah dan ibu saya berawal dari sebuah
kondangan kerabat. Awal pertemuan itu, ketika diajaknya ibu saya oleh nenek
saya untuk menghadiri perkawinan kerabat yang secara kebetulan satu daerah
dengan tempat tinggal ayah saya. Di situlah ayah saya bertugas sebagai penunggu
kotak kondangan. Mereka bertemu secara kasat mata. Sejak pertemuan itu ayah
saya sering datang kerumah ibu saya untuk hanya meminjam sesuatu dengan alasan
di suruh oleh kerabat nenek saya. Karena seringnya ayah saya datang kerumah,
keluarga ibu saya mulai dekat dengan ayah saya. Dan tak lama akhirnya kakek
saya mengetahui maksud ayah saya. Setelah kakek saya memantabkan ayah saya akan
maksudnya, akhirnya terjadi pertemuan dua keluarga dan dilangsungkannya
pernikahan. Disinilah kakek dari ayah saya dari Sumatera datang ke Jawa dari
sekian lamanya berada di Sumatera.
Pernikahan ayah dan ibu saya dilangsungkan pada
tanggal 23 November 1982. Ketika itu umur ayah saya berusia 25 tahun dan ibu
saya 18 tahun. Setelah satu tahun pernikahan, ayah-ibu saya di karunia seorang
putri bernama Mamik haryati yaitu kakak saya. Di awal pernikahan tak dapat
dipungkiri perekonomian ayah-ibu saya belum stabil. Beliau masih menumpang
tanah pada orang tua. Namun ayah saya tak lepas dari tanggung jawabnya.
Meskipun masih menumpang tanah milik orang tua, sejak awal pernikahan beliau
berusaha mendirikan rumah sendiri meskipun masih terbuat dari papan kayu dan
kecil hanya cukup untuk tiga orang saja. Setelah adanya program Pembangunan
Lima Tahun (Pelita) pemerintahan pak Soeharto tentang transmigrasi:
yaitu suatu program yang di buat oleh pemerintah Orde
Baru untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk ke daerah
lain dalam wilayah Indonesia. Yang ditetapkan dalam PP Nomor 42 Tahun 1973
tentang transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan
penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan
memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain
seperti Papua, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (perpustakaan nasional,
2008:22)
Ayah dan ibu saya memilih untuk mengikuti program pemerintah tersebut. Di tahun 1984
ayah dan ibu saya bersama putrinya kala itu kakak saya diberangkatkan oleh
pemerintah ke Maluku tepatnya di perkebunan Awaya Kecamatan Amahei Kabupaten
Masohi (namun setelah umur enam tahun kakak saya di pulangkan ke Jawa agar
dapat mengenyam pendidikan di Jawa). Ayah dan ibu saya di pekerjakan di PT
PERKEBUNAN NUSANTARA XIV (PERSERO) Awaya. Sejak itu ayah dan ibu saya tercatat
sebagai karyawan tetap PT PERSERO Awaya. Dengan ijasah yang dimiliki, ayah saya
di jadikan mandor di perkebunan tersebut. Dan ibu saya ditepatkan di tempat
pengasuhan anak milik PT PERSERO. Tempat itu dikhususkan oleh perusahaan
sebagai tempat penitipan anak bilamana orang tua si anak (karyawan) sedang
bekerja di perkebunan. Selain mengasuh anak, ibu saya aktif menjadi pengurus
harian ibu-ibu PKK. Di Maluku, orang tua saya tidak hanya mengandalkan satu
pencaharian saja, melainkan beliau membuka usaha toko dan alhamdulillah kala
itu lumayan ramai karena tidak mempunyai saingan. Tidak hanya berhenti di situ
saja, ayah saya mulai mengelola ternak sapi yang mana secara tidak langsung
dapat membantu penyediaan lapangan kerja. Rasanya kala itu adalah masa-masa
kejayaan ayah saya. Beliau dapat membangun rumah di Jawa di atas tanah yang
dulunya dijadikan tempat rumah kayunya. Tanah itu secara resmi sekarang sudah menjadi
miliknya. Beliau membelinya langsung dari kakek-nenek saya. Selain itu, beliau
juga membeli beberapa bidang tanah untuk tabungannya kelak di Jawa. Karena pada
asalnya beliau tetap bercita-cita ingin bertempat tinggal di Jawa walau se-jaya
apapun beliau di Maluku.
·
Tragedi
Ambon Tahun 2000
Tragedi
Ambon pada tahun 2000, sangat menyisakan kesedihan yang dalam bagi penduduk
Ambon. Tidak hanya penduduk Ambon, sebagian dari penduduk Jawa yang sedang merantau
di Maluku kala itu memiliki kenangan yang sangat tragis. Tak terkecuali
keluarga saya. Karena saat itu terjadi, keluarga saya masih berada di Maluku.
Peperangan antar agama yakni agama Islam dengan Kristen di Ambon menimbulkan
korban jiwa yang cukup banyak, dan kerusakan-kerusakan bangunan yang tak
ternilai harganya hancur begitu saja akibat pengeboman. Harta benda tidak dapat
diselamatkan, anak-anak menangis mencari bapak-ibunya, dan begitupun orang tua
menangis tak berdaya melihat anak-anaknya mati secara mengenaskan. Memang saat
itu adalah kejadian yang di luar nalar. Semua melakukan pemberontokan dan
pembunuhan secara tragis tanpa ada rasa kemanusiaan. Siapa saja yang
menurut Kristen musuhnya, maka di saat
itulah mereka di bunuh secara sadis. Banyak korban yang ditemukan sudah tak
berwujud manusia. Organ-organ tubuh mereka ntah hilang dimana.
Pemberontakan tersebut atau tepatnya
dikatakan peperangan antar agama ini menjalar hingga ke Masohi tempat dimana
saya tinggal bersama keluarga saya. Ketika itu saya masih berumur 5 tahun. Yang
saya ingat ketika letusan pengeboman yang terjadi di sekitar daerah saya, semua
warga khususnya karyawan PT PERSERO berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri dan di usikan di
kantor pusat PT PERSERO yang mana tempat tersebut cukup jauh dari peristiwa.
Saat itu, tak ada yang dapat menyelamatkan harta benda, nyawa sangat begitu berharga.
Bahkan ada seseorang yang ketika itu sedang sakit beliau harus
terpontang-panting di bopong orang-orang secara bergantian. Kejadian itu sangat
miris bagi warga, tak terkecuali keluarga saya. Kenangan itu masih tertanam
jelas dalam pikiran saya. Saya yang ketika itu hanya menggedong tas sekolah dan
boneka, berlari-lari di tuntun ibu saya untuk menyelamatkan diri. Ibu saya yang
bersusah payah dengan membawa tas tak sedikitpun beliau melepaskan tangan saya.
Hanya wajah tersirat ketakutan yang tergambar dalam dirinya. Saat itu pula ntah
dimana saya tak melihat sosok ayah saya hingga saya berada di dalam
pengungsian.
Rasa
takut mulai menjulur ke dalam tubuh saya. Rasa khawatir terhadap ayah saya
bertambah saat orang-orang membincangkan peristiwa tersebut. Kemanakah ayah
saya? Saya hanya diam takut menunggu kedatangan ayah saya. Hingga larut malam
hingga saya kalah menahan kantuk saya.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali
semua warga diusung dipulangkan ke tanah kampung masing-masing. Disitulah rasa
cemas saya hilang. Ayah saya sudah kembali. Beliau tak bisa bersama saya,
karena saat itu beliau harus membantu menyelamatkan para warga dan beberapa
harta milik warga yang bisa diselamatkan. Menurut kata ayah saya, beliau
bersama temannya TNI dari Jawa tidak bisa melawan atau melerai kejadian
tersebut. Karena pengeboman itu sudah merambat jauh dan sulit untuk di
hentikan. Ditakutkan, bilamana ayah saya bersama-sama teman-temannya TNI dari
Jawa itu melawan, maka yang akan menjadi korban selanjutnya adalah orang Jawa
bukan lagi warga Islam di Ambon. Orang Jawa itu tidak hanya yang berada di
Maluku saja, melainkan bisa jadi orang asli warga Maluku mendatangi pulau Jawa
dan menyerang seperti yang dilakukan di Ambon. Karena masa itu, penduduk asli
orang Maluku masih terkenal sangat keras bila sudah terpancing amarahnya.
Di dalam perjalanan kepulangan ke
Jawa, yang hanya saya ingat adalah beradanya saya dalam pelukan ibu. Rasanya
begitu nyaman dan aman. Di setiap perjalanan saya mengingat kejadian tersebut
secara satu persatu. Saat orang lari-larian, udara penuh dengan asap, orang
menangis, bahkan ditempat pengungsian pun warga tak boleh menyalakan lampu
bahkan api lilin sekalipun. Larangan itu dilakukan baik saat siang maupun
malam. Itupun ketika sedang kepepet, cahaya hanya boleh dari api lilin dan
dinyalakan di dalam kamar mandi tertutup. Karena ditakutkan dengan adanya
cahaya tersebut dapat mengundang musuh untuk datang dan membumi hanguskan.
Rasanya
sedih sekali, saya tak bisa habis pikir bagaimana warga yang bukan karyawan PT
PERSERO? Bagaimana mereka berlindung? Dan kepada siapa mereka meminta bantuan?
TNI saja yang gagah berani tak bisa melerai apalagi melawan. Mungkin yang
menambah mengiris hati saya lagi saat ini adalah kematian orang tua teman saya
yang secara kebetulan saya kenal saat duduk di bangku SMA, beliau atau ayah
teman saya yang menjadi TNI tersebut meninggal dunia saat ditugaskan tepat
berada di Ambon di pusat pertingkaian. Beliau dengan segenap jiwa dan raganya
telah mempertahakan keutuhan dan kesatuan NKRI. Semoga arwah beliau dapat
diterima dengan baik di sisi Allah SWT.
·
My
Life in Java
Setelah
di Jawa kehidupan perekonomian keluarga saya berbeda. Roda sudah berputar, ayah
saya memulai kehidupannya mulai dari nol kembali. Dengan tabungan yang di
milikinya, beliau membuka usaha dagang namun pada akhirnya gagal karena
banyaknya saingan yang ada di Jawa. Akhirnya dengan tabungan ladang yang
dibelinya ketika di Maluku, beliau mulai bercocok tanam. Beliau kini menjadi
seorang petani. Namun, dengan usahanya tani, beliau dapat menyekolahkan
anak-anaknya ke tingkat perguruan tinggi. Kakak saya telah di wisuda sejak
tahun 2007 dari Unversitas Brawijaya jurusan pertanian. Dan kini saya sendiri
masih mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Malang.
Sejak kecil saya telah dididik
bagaimana mencintai negeri ini dan pendidikan. Sejak tertanamnya itu semua,
membuat saya semasa kecil berangan-angan untuk menjadi guru yang dapat mendidik
bangsa ini dari kebodohan dan menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi akan
pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, agar tragedi seperti di
Ambon dan tragedi-tragedi lainnya yang membawa kebobrokan pada bangsa ini tidak
terulang kembali.
Saya bersekolah di SDN Sambitan 02
tahun 2001-2006. Hal yang dapat saya rasakan ketika itu adalah tumbuhnya jiwa
pemimpin yang tumbuh pada diri saya.
Sejak kelas 4 SD sampai kelas 6 SD, saya selalu menjadi ketua kelas.
Saya tak pernah mempunyai rasa takut bahkan kepada lelakipun. Sempat dulu saya
pernah bertengkar dengan teman laki-laki saya hanya karena saya membela teman
laki-laki saya lainnya. Karena saya merasa anak laki-laki yang saya lawan
tersebut telah meperbudak teman laki-laki yang saya bela. Itu sebabnya saya
mempertanyakan keadilan dan hak seseorang, karena bahwasannya saya benci dengan
segala bentuk penindasan walau dalam bentuk yang kecil.
Kemudian saya meneruskan di SMP
Negeri 1 Bandung, Tulungagung. Di SMP, saya berbeda jauh dari sifat SD saya
yang sangat pemberani. Saya lebih pendiam seperti putri Solo. Ntah bagaimana
saya punya rasa empati yang sangat tinggi terhadap orang-orang yang kurang
mampu dan terhadap anak-anak kecil. Disinilah cita-cita saya mulai berubah.
Saya ingin menjadi Bidan. Saya ingin menolong para ibu yang dengan segenap
tenaganya melahirkan kehidupan yang baru dengan bertaruhkan nyawa. Dan saya
ingin menjadi orang yang pertama yang menggendong makhluk Tuhan yang masih suci
itu lahir dan tumbuh didunia ini dengan kedua tangan saya.
Tahun 2010 saya masuk di SMAN 1
Campurdarat. Saat saya SMA, rasa pemberontak saya akan penindasan mulai tumbuh kembali.
KKN yang merajalela se-akan membawa saya ingin lebih mengetahui bagaimana dunia
politik sebenarnya. Saya mulai ikut oraganisasi-organisasi dengan tujuan
melatih diri ke wacana politik. Namun sayang, di akhir sekolah keinginan saya
terjun ke dunia politik ditolak mentah-mentah oleh ayah saya. Beliau lebih suka
anaknya ini untuk terjun kedunia perkantoran seperti yang digelutinya dahulu.
Sehingga saat pemilihan jurusan untuk ke jenjang perkuliahan, saya memilih
jurusan yang berbau perkantoran yaitu administrasi perkantoran, Bidan di bidang
kesehatan dan yang terakhir saya ambil dari cita-cita saya sejak kecil yaitu
guru.
Dan pada akhirnya Allah menjawab dan
memberi jalan pada hidup saya. Saya di terima di Universitas Negeri Malang
dengan jurusan pendidikan sejarah. Mungkin Allah membukakan jalan pada diri
saya agar dapat menjadi guru yang baik, yang dapat menumbuhkan rasa
nasionalisme terhadap bangsa serta sebagai seorang yang dapat membantu setiap
insan mengingat kepada dahulunya. Agar mereka tak lalai saat mereka berada di
atas dan berusaha berdiri saat berada di bawah. Dan yang mana itu saat semua
terwujud saya bisa membawa setiap insan menjadi sebuah insan yang baru lagi lahir
kedunia ini dengan kehidupan yang gemah
ripah loh jinawi.
“Bagaimana
keperluan kehidupan saya? Alhamdulillah hingga saat ini saya serba kecukupan,
dan tak pernah memerima bantuan dengan alasan tidak mampu baik dari biaya
pendidikan maupun bantuan pemerintah untuk keluarga miskin. Adapun bila ada,
saya ingin mendapatkan beasiswa dari jeri payah saya sendiri. Semoga perjalanan
hidup saya kedepannya lebih cerah, semakin baik dan berguna bagi masyarakat”.
Amin
BAB
III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Dalam perjalanan keluarga Cici Setiyowati sangat
berliku-liku, selalu terjadi pasang-surut, dan kejadian tiap kejadian selalu
datang menghampiri keluarga Cici Setiyowati. Namun kejadian-kejadian tersebut
tidak membuat surut keluarga Cici Setiyowati untuk terus berupaya dan semangat
dalam mempertahankan kehidupan di ranah lingkungan sosial dan di dunia
pendidikan.
3.2 Saran
Selain mengetahui bagaimana sejarah keluarga, perlu
adanya perubahan sikap pada diri kita untuk menuju ke arah yang lebih baik. Dan
hendaknya selalu berupaya untuk bangun dan tegar ketika sebuah permasalahan
datang menghampiri kehidupan kita.
DAFTAR
RUJUKAN
Ihromi
T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi
Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia anggota IKAPI DKI JKT atas
bantuan USAID.
Kuntowijoyo.
1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta
Tim
Redaksi. 2008. Apakah Soeharto Pahlawan. Yogyakarta:
Bio Pustaka
LAMPIRAN
Selayang
Pandang Keluarga Bapak Muslan
Tampak
dari kiri foto bapak Susanto,
Aktifitas bapak Muslan selaku men- mbah Kanijah, mbah Supinah
bersama jadi mandor di PT.
PERSERO
anaknya
Enik Sri Astutik (saat masih-
Kecil),
dan terakhir mbah Djuwari
Anak-anak
asuh Ibu Sutini ketika di per- Ibu
Sutini bersama teman-temannya
Kejakan
oleh PT. PERSERO
ibu-ibu PKK
Saat lebaran di Maluku bersama para sa- Rumah di Jawa hasil bangunan Bapak-
habat tampak yang bersaliman ialah Muslan ketika masih berada di Maluku
Bapak Muslan dan Ibu Sutini.
Cici
Setiyowati ketika SMP (tampak- Cici Setiyowati ketika SD (tampak- depan kanan foto)
bawah kiri foto.
Cici Setiyowati ketika SMA (tampak
bawah depan nomor 3 dari kanan foto)
Cici Setiyowati ketika kuliah di
Universitas Negeri Malang
(tampak bawah kanan foto)