Selasa, 10 Desember 2013

Cici Setiyowati



CERITA SEJARAH ANAK KAMPUNG TULUNGAGUNG
MENURUT KETURUNAN GARIS IBU
(CICI SETIYOWATI)




MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Bapak Prof. Dr. Hariyono, M.Pd










Oleh
Cici Setiyowati
130731615710







logo-um-2.jpg





UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
September 2013



DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Metode 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kehidupan  Keluarga Cici Setiyowati
Sebelum Tahun 90-an 4
2.1.1 Fase Pertama (Sonomejo—Sukinah) 4
2.1.2 Fase Kedua (Kromomejo—Kanijah) 5
2.1.3 Fase Ketiga (Djuwari—Supinah) 7
2.2 Selayang Pandang
      Sejarah Kehidupan Cici Setiyowati 9
2.2.1  Selayang Pandang Ibu (Ibu Sutini) 9
2.2.2 Selayang pandang Ayah (Bapak Muslan) 10
2.2.3 Selayang Pandang Ayah dan Ibu 12
BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan 20
3.2 Saran 20
DAFTAR RUJUKAN 21
LAMPIRAN 22







2.1 Mbah Kanijah bersama anak dan cucunya (Juli 1986) 6
2.2 Mbah Djuwari dan mbah Supinah (2012) 7
2.3 Ayah-Ibu ditahun 20129


























BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
“Keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial, diibaratkan bagai jembatan yang menghubungkan individu yang berkembang dengan kehidupan sosial di mana ia sebagai orang dewasa kelak harus melakukan peranannya”, Ihromi (1999:284). Disinilah keluarga sangat berperan pada diri setiap individu. Keluarga sangat memberikan pengaruh besar terhadap kepribadian seseorang. Ntah itu akan membentuk karakter yang lebih baik ataupun sebaliknya. Dengan demikian, untuk memahami sebuah konflik kita perlu belajar dari setiap peristiwa di masa lalu yaitu sejarah.
Dengan mengetahui bagaimana sejarah kita dan keluarga kita, akan memberikan cerminan kepada kita akan jati diri kita yang nantinya bisa dijadikan landasan bagaimana kita bersikap untuk kedepannya. Setiap individu memiliki sejarah keluarga masing-masing dan berbeda-beda baik dari lingkup sosial maupun perekonomian. Bahkan perbedaan itu tidak hanya terjadi pada keluarga individu dengan individu lainnya. Perbedaan itu bisa terjadi dalam satu keluarga individu itu sendiri. Seperti halnya budaya kakek-nenek kita pada zaman dahulu berbeda dengan budaya kita pada saat ini.
Perbedaan tahun dan arusnya globalisasi memberikan perbedaan jauh pada setiap peristiwa dan budaya yang terjadi pada masa lalu dengan masa kini. Bahkan dengan arus globalisasi yang pesat meninggalkan kebudayaan Jawa yang telah tertanam pada nenek-kakek kita dahulu. Maka tidak dapat dipungkiri, untuk meng-filter itu semua kita perlu mengetahui bagaimana sejarah keluarga kita dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Agar kita dapat memisahkan dan membenahi budaya yang tak layak untuk diteruskan dan budaya yang perlu dipertahankan. Selain itu, dengan belajar masa lalu kita dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik. Ntah sikap pada diri  kita maupun tindakan kita untuk menyikapi sebuah permasalahan. Tak halnya pada penulis, penulis juga belajar dengan cerita kehidupan dirinya sendiri dan keluarga penulis sendiri agar tidak salah pilih dalam bertindak. Dengan demikian makalah ini di buat dengan judul “Cerita Sejarah Anak Kampung Tulungagung Menurut Keturunan Garis Ibu (Cici Setiyowati)”

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana alur cerita keluarga Cici Setiyowati sebelum tahun 90-an?
2.      Bagaimana sejarah kehidupan Cici Setiyowati?

1.3  Tujuan
1.      Mengetahui sejarah kekelurgaaan Cici Setiyowati sebelum tahun 90-an
2.      Mengetahui alur cerita kehidupan Cici Setiyowati

1.4 Metode
Dalam penelitian sejarah ini mempunyai lima tahap, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi: analisis dan sintesis, dan penulisan, Kuntowijoyo (1995:91).
A.    Pemilihan Topik
                           Pemilihan topik yang dipilih oleh penulis ialah sejarah keluarga penulis sendiri, karena penulis ingin mengetahui bagaimana alur cerita kehidupan keluarga penulis baik secara ekonomi, sosial dan kekeluargaannya di masa lalu. Yang mana sejarah keluarga tersebut sangat berliku-liku sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga di masa sekarang, yang sangat menarik untuk disimak.
B.     Pengumpulan Sumber
                           Data yang dikumpulkan penulis ialah melalui dua sumber: yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis. Dari sumber tertulis, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen keluarga seperti surat kerja, kartu keluarga, buku perkawinan, ijasah dan akta kelahiran. Sedangkan dari sumber tidak tertulis, penulis mencari sumber-sumber lisan melalui wawancara. Wawancara yang dilakukan penulis tidak hanya kepada anggota-anggota keluarga yang terlibat. Melainkan penulis mewawancarai tetangga-tetangga  keluarga penulis, teman-teman penulis yang terlibat dalam kejadian dan beberapa orang-orang yang ikut tersangkut paut dalam kejadian suatu peristiwa, seperti tragedi Ambon, yang mana sangat berpengaruh terhadap kehidupan keluarga penulis. Selain itu, penulis juga mencari sumber-sumber dari kajian pustaka yang membahas tentang kebudayaan orang  Jawa di masa lalu.
C.     Verifikasi
                           Dalam mengakaji sumber-sumber, penulis mencoba membandingkan tentang data yang diperolah melalui dokumen, kabsolutan jawaban dari tiap-tiap nara sumber dan kajian pustaka yang di dapat oleh penulis.
D.    Interpretasi
                     Setelah melakukan perbandingan data, penulis mencoba mengeruaikan tentang permasalahan yang ada dan mengelompokannya menjadi satu. Kecocokan tanggal, tahun dan cerita lisan yang dikemukakan  oleh para nara sumber serta dari pengalam pribadi penulis, meyakinkan memang telah ada suatu peristiwa yang benar-benar terjadi.
E.     Penulisan
                     Dalam penulisan sejarah, penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana cara penulis memperoleh informasi yang mana di tulis dalam Bab I. Yang kemudian menjelaskan tentang kronologi yang memang benar terjadi pada Bab II. Dan yang terakhir penarikan kesimpulan yang di tulis ke dalam bab III.

BAB II
PEMBAHASAN



2.1              Kehidupan  Keluarga Cici Setiyowati Sebelum Tahun 90-an
Tahun sebelum 90-an adalah tahun di mana Indonesia masih mengalami masa-masa gelap. Banyak perbudakan dimana-mana, kerusuhan merajalela, manusia sudah tak lagi mempunyai hak asasi, serta ketakutan dan kesedihan menghantui diri pada setiap warga negara.
Disinilah sejarah keluarga saya mulai beranjak baik dari segi kemerdekaan maupun ekonomi, seperti halnya Indonesia yang masih tertatih-tatih dalam mempertahankan kemerdekaan dari segala bentuk ancaman.

2.1.1 Fase Pertama (Sonomejo—Sukinah)
Sonomejo ini adalah kakek dari keluarga saya. Beliau seorang saudagar yang pada masa itu bisa dikatakan mampu karena serba berkecukupan, meskipun secara pendidikan beliau kurang mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya. Beliau hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya hanya pada tingkat Dasar saja dan itu pun berterus berkelanjutan pada masa mbah Supinah yang mana akan dijelaskan pada penjelasan di bawah. Seperti yang kita ketahui bahwa pada zaman gelap Indonesia tepatnya sebelum orde baru, masyarakat masih mengalami kesulitan dalam sandang, pangan, papan. Disinilah sosok mbah Sonomejo tampil sebagai tokoh yang disegani oleh masyarakat. Meskipun beliau di lahirkan dari kelurga yang biasa, bukan dari keturunan kerajaan atau bangsawan, beliau sangat ulet dan rajin dalam pekerjaan maupun peranannya di masyarakat. Peranannya dalam masyarakat, di antaranya yaitu ikut sertanya beliau dalam penyumbangan pendirian Masjid di desa setempat secara suka rela. Dalam mengarungi kehidupannya, beliau didampingi oleh seorang wanita yang setia dan sopan tutur katanya. Beliau adalah mbah Sukinah, peranannya sebagai istri sangat luar biasa. Selain dia harus mengurus rumah tangga beliau juga turut serta dalam mencari nafkah untuk keluarga. Beliau di karuniai lima orang anak bernama Martodiwirdjo, Kanijah, Waginah, Katiah, dan Maijah. Mbah Kanijah inilah yang nantinya menjadi garis darah keturunan saya. Dan di tahun 1938 mbah Sonomejo dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Beliau meninggalkan keluarga untuk selama-selamanya. Atas  meninggalnya beliau meberikan duka mendalam bagi keluarga saya, dimana keluarga saya harus kehilangan sosok pemimpin keluarga yang baik dan luar biasa.

2.1.2 Fase Kedua (Kromomejo—Kanijah)
Selanjutnya fase kedua masa mbah Kromomejo dan mbah Kanijah. Mbah Kromomejo ini adalah mantu yang di ambil oleh mbah Sonomejo dari daerah Suruhan yang masih se-daerah dan merupakan tetangga desa yang dinikahkannya dengan putri pertamanya, yaitu mbah Kanijah. Beliau dinikahkan dengan jalan untuk meneruskan jejak mbah Sonomejo. Barulah mbah Kromomejo dan mbah Kanijah bermata-pencaharian sebagai pedagang dan petani. Dari perkawinan beliau, mereka di karunia sembilan putra-putri, diantaranya:
1.      Wanijo             6. Musirah
2.      Kasmi              7. Mul
3.      Dulgani           8. panidi
4.      Dini                 9. Supinah
5.      Ngairan
Namun dari kesembilan putra-putrinya tersebut, yang hanya bertahan hingga dewasa hanya tujuh orang. Almarhum mbah Musirah dan mbah Panidi diambil oleh Sang Maha Kuasa sejak masih kecil. Jadilah anak mbah Kromomejo dihitung hanya tujuh orang anak. Sosok mbah Kromomejo tidak berbeda jauh dengan mbah Sonomejo. Selain ulet, beliau juga sangat dihormati oleh punduduk sekitar dan para tetangganya. Tak kalah lagi mbah Kanijah, beliau juga sangat dikasihi oleh para tetangga-tetangganya. Beliau terkenal dengan kedermawannya. Tidak pernah pandang hulu yang ingin dibantunya ntah itu orang kaya maupun orang yang kurang mampu. Siapa yang meminta bantuan, mbah Kanijah selalu mengulurkan tangannya untuk membantu. Baginya di dunia ini hanya titipan dan haruslah untuk saling membantu.

CIMG2761.JPG
Gb .2.1 Mbah Kanijah bersama anak dan cucunya (Juli 1986)

Di tahun 1961 mbah Kromomejo meninggal. Sepeninggalan beliau, tulang punggung keluarga beralih pada Mbah Kanijah bersama anak-anaknya. Namun dari ketujuh anaknya, yang hanya berada di pulau Jawa tinggal bersama beliau hanyalah mbah Supinah. Seluruh anak-anaknya merantau ke Sumatera dan bertempat tinggal disana hingga saat ini. Pada tahun 1990 lah mbah Kanijah meninggal dan di makamkan di Sumatera. Mengapa dimakamkan di Sumatera? karena saat sebelum meninggal, beliau berkunjung ke Sumatera untuk menengok anak-anaknya dan saat itulah beliau berwasiat untuk di akhir umurnya ingin berada di Sumatera dan di makamkan disana. Disitulah tak lama beliau berada di Sumatera, beliau sakit karena tua dan meninggal dunia di Sumatera.




2.1.3        Fase Ketiga (Djuwari—Supinah)

AKUNG & UTI.JPG
Gb.2.2 Mbah Djuwari dan mbah Supinah (2012)

Mbah Djuwari lahir di desa Gandusari, Trenggalek tahun 1938. Beliau adalah putra dari rekan kerja mbah Kromomejo, yang kemudian dijadikan mantu oleh mbah Kromomejo. Mbah Supinah, seperti yang dijelaskan di atas, beliau adalah anak terakhir dari pasangan mbah Kromomejo dan mbah Kanijah. beliau lahir di tahun 1942.  Beliau dinikahkan dengan mbah Djuwari pada tahun 1958. Keduanya dijodohkan guna hubungan perdagangan antar keluarga. Namun setelah pernikahan, mbah Djuwari dan mbah Supinah ternyata tidak meneruskan perdagangan orang tuanya. Beliau memilih bertani sebagai mata pecahariannya. Tidak seperti mbah Sonomejo dan mbah Kromomejo, mbah Djuwari lebih dikenal keras dan kaku baik di kalangan masyarakat maupun keluarganya. Bahkan anak-anaknya takut dan selalu menurut (manut ) apa saja yang dikatakan oleh mbah Djuwari. Dari perkawinannya, mbah Djuwari dan mbah Supinah di karuniai empat orang anak. Keempat anaknya tersebut ialah Sutini yaitu ibu saya sendiri, Susanto, Sumarmi (almarhum), dan Enik sri astutik.
Dari keempat anaknya itu tidak semuanya mendapatkan pendidikan yang layak. Seperti halnya ibu saya, beliau hanya mengenyam pendidikan hanya tingkat SD saja. Ini disebabkan karena pada saat itu terjadi rumor di masyarakat bahwa anak perempuan yang menikah di atas umur 20 tahun di kategorikan sebagai perawan tua. Selain itu, perempuan masih di anggap awam dalam bekerja secara kasarnya hanya bisa macak, masak, dan manak. Dari situlah beliau berpikiran bahwa anak perempuan tidak harus disekolahkan tinggi-tinggi karena pada akhirnya tetap berada di dapur.
Sedangkan paman saya pak Susanto, beliau disekolahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi. Karena anak laki-laki masa itu dianggap sosok yang pantas menjadi penerus dan pemimpin di masyarakat, sehingga wajib untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk bibi saya, almarhum bulik Sumarmi dan Enik Sri Astutik keduanya sudah dapat merasakan pendidikan yang tinggi walaupun ketingkat SMA. Namun dengan ijasah SMA masa itu, saya rasa sudah layak untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan perempuan. Karena dengan ijasah tersebut, bisa dipergunakan untuk bekerja kantor Desa sebagai Perangkat Desa dan tidak harus berpanas-panasan di tengah sawah. Mengapa semuanya terjadi? Inilah yang disebut dengan evolusi cara pikir manusia menuju ke arah modern. Masyarakat saat itu mulai berpandanagn bahwa pendidikan itu penting dan semua layak untuk mendapatkannya. Seperti yang dikatakan Koentjaraningrat (2009:152):
Dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

Selain perubahan cara pikir manusia itu, disebabkan adanya program pemerintah yang mencanangkan wajib sekolah 9 tahun.



2.2                  Selayang Pandang Sejarah Kehidupan Cici Setiyowati
Sejarah kehidupan saya berawal dari romansa kedua orang tua saya yang di pertemukan oleh Allah SWT untuk menjadi pasangan yang saling melengkapi dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dari ikatan suci yang diikrarkan oleh kedua orang tua saya di depan penghulu itulah saya dilahirkan dan dapat hidup di dunia ini hingga saat ini. Sebelum saya menjelaskan bagaimana kehidupan saya sejak kecil, terlebih dahulu akan saya paparkan sekilas bagaimana kehidupan ayah dan ibu saya semasa kecil hingga dewasa sampai mereka menikah dan melahirkan seorang putri yang sekarang ini sedang mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Malang.

fgfg.jpg
Gb.2.3 Ayah-Ibu ditahun 2012

2.2.1   Selayang Pandang Ibu (Ibu Sutini)
           Ibu saya lahir pada tanggal 6 Februari 1964. Beliau anak pertama dari empat bersaudara. Beliau dibesarkan di desa Sambitan Kecamatan Pakel Kabupaten Tulungagung. Semasa kecil, beliau di didik keras oleh kakek saya. Sebagai anak pertama beliau harus bisa menjadi panutan untuk adik-adiknya dan harus ambil andil dari semua dan segala pekerjaan rumah. Baik harus merawat rumah, menjaga adik-adiknya maupun harus pergi ke ladang untuk membantu kedua orang tuanya. Beliau mengenyam pendidikan hingga tingkat SD seperti yang di jelaskan di atas. Beliau dinikahkan pada umur 15 tahun dengan seseorang pemuda yang sama sekali belum di kenalnya dan jauh di atas umurnya. Memang pada masa itu di kampung saya budaya perjodohan antar keluarga masih berkembang pesat. Kala itu ibu saya tak dapat menolak, karena sebagaimana adat dan kakek saya terkenal begitu keras. Beliau menurut begitu saja, meskipun hati kecilnya sangat menolak. Memang kala itu rasanya tidak begitu demokratis, perempuan begitu di sepelekan. Selama perkawinannya beliau tidak merasakan kebahagiaan sama sekali. Bukan karena suaminya yang kasar atau yang terjadi di masa kini yaitu kekerasan dalam rumah tangga. Melainkan beliau belum sanggup menjadi istri, umur 15 tahun rasanya masih terlalu dini untuk menjadi istri. Beliau hanya dapat menjaga rumah tangganya selama satu tahun. Beliau di pulangkan oleh suaminya dengan alasan ibu saya belum layak untuk menjadi istri. Jadilah ibu saya menjadi janda tepatnya janda perawan. Karena selama pernikahan tidak sedikitpun beliau di sentuh oleh suaminya, bahkan sejak pertama menikah keduanya sudah berbeda kamar. Kejadian tersebut membuat kakek dan nenek saya murka. Mereka  merasa malu tidak dapat mendidik anaknya menjadi seorang istri yang baik menurut adat Jawa tersebut. Sampailah ibu saya menjadi orang yang mandiri bekerja keras tanpa bantuan orang tua. Beliau belajar dari masa lalunya dan memulai kehidupannya dengan mengikuti pelatihan menjahit yang dicanangkan oleh pemerintah di tiap-tiap desa kala itu. Dengan berjalannya waktu akhirnya ibu saya menemukan sosok yang layak untuk mendampingi hidupnya yaitu ayah saya.

2.2.2     Selayang pandang Ayah (Bapak Muslan)
Ayah saya lahir dari pasangan mbah Pangat dan mb Pon. Beliau lahir pada tanggal 11 Mei 1957. Beliau anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya itu ialah Sunar, Wakid dan Jani. Semasa kecil beliau tidak di asuh oleh kedua orang tuanya. Melainkan di ambil asuh oleh kakek-nenek saya yang sekarang saya kenal yaitu mbah Wodo dan Musinah. Karena ketika masa itu, perekonomian kakek-nenek saya yang asli belum bisa mencukupi keperluan anaknya. Nenek saya harus menitipkan anak pertamanya yaitu ayah saya kepada kakak kandungnya yaitu mbah Musinah. Karena mbah Musinah saat itu sudah dirasa cukup untuk membiayai kehidupan ayah saya. Ayah saya di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ke Sumatera sejak kecil ketika masih balita. Ayah saya di angkat dan dijadikan anak kandung oleh mbah Musinah.
Sejak kecil ayah saya juga sudah terlihat mandiri. Kenyataan ini di uraikan dengan seringnya ayah saya pergi ke hutan gunung-gunung untuk mencari sesuatu apa saja yang dapat di jualnya untuk memenuhi kebutuhannya. Ini semua bukan karena mbah Wodo tidak mau mencukupi keperluan ayah saya, melainkan semua itu inisiatif dari ayah saya sendiri. Dengan kemandiriannya sejak kecil membuat ayah saya menjadi sosok yang ulet, jujur dan bertanggung-jawab. Ketika beranjak dewasa barulah ayah saya mengetahui akan fakta yang terjadi sesungguhnya. Ketika lulus SMP beliau dipertemukan oleh mbah Wodo dengan kedua orang tua kandungnya di Sumatera. Beliau dilepas oleh mbah Wodo dan diserahkan kepada kedua orang tua aslinya. Namun ternyata terbalik, ayah saya lebih memilih untuk tinggal dan hidup bersama mbah Wodo ayah angkatnya. Beliau menyusul pergi ke Jawa dan menetap di Jawa hingga saat ini. Kemudian ayah saya di sekolahkan di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Krida setingkat dengan SMA. Di tengah perjalanan, ayah saya keluar dari sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Bukan karena kekurangan materi, namun beliau merasa iba kepada kakek-nenek saya mbah Wodo dam mbah Musinah. Beliau tak ingin lagi merepotkan kedua orang tua angkatnya. Beliau merasa sudah terlalu banyak yang di berikan mbah Wodo dan mbah Musinah kepada beliau baik dari kasih sayang, pengajaran, materi bahkan pendidikan formal yang di berikan kepada beliau. Segala jasa yang diberikan tak dapat ditebusnya oleh apapun bahkan nyawa sekalipun. Ayah saya tak bisa melupakan semua kasih sayang yang diberikan kedua orang tua angkatnya tersebut. Beliau sudah menganggap almarhum mbah Wodo dan mbah Musinah seperti orang tua kandungnya sendiri. Rasa sayangnya terhadap orang tuanya dan mengahargainnya beliau terhadap jasa orang tua angkatnya tersebut dibuktikannya dengan tercantumnya mbah Wodo dan mbah Musinah dalam kartu keluarga hingga saat ini.

2.2.3        Selayang Pandang Ayah dan Ibu
Pertemuan ayah dan ibu saya berawal dari sebuah kondangan kerabat. Awal pertemuan itu, ketika diajaknya ibu saya oleh nenek saya untuk menghadiri perkawinan kerabat yang secara kebetulan satu daerah dengan tempat tinggal ayah saya. Di situlah ayah saya bertugas sebagai penunggu kotak kondangan. Mereka bertemu secara kasat mata. Sejak pertemuan itu ayah saya sering datang kerumah ibu saya untuk hanya meminjam sesuatu dengan alasan di suruh oleh kerabat nenek saya. Karena seringnya ayah saya datang kerumah, keluarga ibu saya mulai dekat dengan ayah saya. Dan tak lama akhirnya kakek saya mengetahui maksud ayah saya. Setelah kakek saya memantabkan ayah saya akan maksudnya, akhirnya terjadi pertemuan dua keluarga dan dilangsungkannya pernikahan. Disinilah kakek dari ayah saya dari Sumatera datang ke Jawa dari sekian lamanya berada di Sumatera.
Pernikahan ayah dan ibu saya dilangsungkan pada tanggal 23 November 1982. Ketika itu umur ayah saya berusia 25 tahun dan ibu saya 18 tahun. Setelah satu tahun pernikahan, ayah-ibu saya di karunia seorang putri bernama Mamik haryati yaitu kakak saya. Di awal pernikahan tak dapat dipungkiri perekonomian ayah-ibu saya belum stabil. Beliau masih menumpang tanah pada orang tua. Namun ayah saya tak lepas dari tanggung jawabnya. Meskipun masih menumpang tanah milik orang tua, sejak awal pernikahan beliau berusaha mendirikan rumah sendiri meskipun masih terbuat dari papan kayu dan kecil hanya cukup untuk tiga orang saja. Setelah adanya program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) pemerintahan pak Soeharto tentang transmigrasi:
yaitu suatu program yang di buat oleh pemerintah Orde Baru untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk ke daerah lain dalam wilayah Indonesia. Yang ditetapkan dalam PP Nomor 42 Tahun 1973 tentang transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi (perpustakaan nasional, 2008:22)

Ayah dan ibu saya memilih untuk mengikuti  program pemerintah tersebut. Di tahun 1984 ayah dan ibu saya bersama putrinya kala itu kakak saya diberangkatkan oleh pemerintah ke Maluku tepatnya di perkebunan Awaya Kecamatan Amahei Kabupaten Masohi (namun setelah umur enam tahun kakak saya di pulangkan ke Jawa agar dapat mengenyam pendidikan di Jawa). Ayah dan ibu saya di pekerjakan di PT PERKEBUNAN NUSANTARA XIV (PERSERO) Awaya. Sejak itu ayah dan ibu saya tercatat sebagai karyawan tetap PT PERSERO Awaya. Dengan ijasah yang dimiliki, ayah saya di jadikan mandor di perkebunan tersebut. Dan ibu saya ditepatkan di tempat pengasuhan anak milik PT PERSERO. Tempat itu dikhususkan oleh perusahaan sebagai tempat penitipan anak bilamana orang tua si anak (karyawan) sedang bekerja di perkebunan. Selain mengasuh anak, ibu saya aktif menjadi pengurus harian ibu-ibu PKK. Di Maluku, orang tua saya tidak hanya mengandalkan satu pencaharian saja, melainkan beliau membuka usaha toko dan alhamdulillah kala itu lumayan ramai karena tidak mempunyai saingan. Tidak hanya berhenti di situ saja, ayah saya mulai mengelola ternak sapi yang mana secara tidak langsung dapat membantu penyediaan lapangan kerja. Rasanya kala itu adalah masa-masa kejayaan ayah saya. Beliau dapat membangun rumah di Jawa di atas tanah yang dulunya dijadikan tempat rumah kayunya. Tanah itu secara resmi sekarang sudah menjadi miliknya. Beliau membelinya langsung dari kakek-nenek saya. Selain itu, beliau juga membeli beberapa bidang tanah untuk tabungannya kelak di Jawa. Karena pada asalnya beliau tetap bercita-cita ingin bertempat tinggal di Jawa walau se-jaya apapun beliau di Maluku.



·         Tragedi Ambon Tahun 2000
Tragedi Ambon pada tahun 2000, sangat menyisakan kesedihan yang dalam bagi penduduk Ambon. Tidak hanya penduduk Ambon, sebagian dari penduduk Jawa yang sedang merantau di Maluku kala itu memiliki kenangan yang sangat tragis. Tak terkecuali keluarga saya. Karena saat itu terjadi, keluarga saya masih berada di Maluku. Peperangan antar agama yakni agama Islam dengan Kristen di Ambon menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, dan kerusakan-kerusakan bangunan yang tak ternilai harganya hancur begitu saja akibat pengeboman. Harta benda tidak dapat diselamatkan, anak-anak menangis mencari bapak-ibunya, dan begitupun orang tua menangis tak berdaya melihat anak-anaknya mati secara mengenaskan. Memang saat itu adalah kejadian yang di luar nalar. Semua melakukan pemberontokan dan pembunuhan secara tragis tanpa ada rasa kemanusiaan. Siapa saja yang menurut  Kristen musuhnya, maka di saat itulah mereka di bunuh secara sadis. Banyak korban yang ditemukan sudah tak berwujud manusia. Organ-organ tubuh mereka ntah hilang dimana.
           Pemberontakan tersebut atau tepatnya dikatakan peperangan antar agama ini menjalar hingga ke Masohi tempat dimana saya tinggal bersama keluarga saya. Ketika itu saya masih berumur 5 tahun. Yang saya ingat ketika letusan pengeboman yang terjadi di sekitar daerah saya, semua warga khususnya karyawan PT PERSERO berbondong-bondong  untuk menyelamatkan diri dan di usikan di kantor pusat PT PERSERO yang mana tempat tersebut cukup jauh dari peristiwa. Saat itu, tak ada yang dapat menyelamatkan harta benda, nyawa sangat begitu berharga. Bahkan ada seseorang yang ketika itu sedang sakit beliau harus terpontang-panting di bopong orang-orang secara bergantian. Kejadian itu sangat miris bagi warga, tak terkecuali keluarga saya. Kenangan itu masih tertanam jelas dalam pikiran saya. Saya yang ketika itu hanya menggedong tas sekolah dan boneka, berlari-lari di tuntun ibu saya untuk menyelamatkan diri. Ibu saya yang bersusah payah dengan membawa tas tak sedikitpun beliau melepaskan tangan saya. Hanya wajah tersirat ketakutan yang tergambar dalam dirinya. Saat itu pula ntah dimana saya tak melihat sosok ayah saya hingga saya berada di dalam pengungsian.
Rasa takut mulai menjulur ke dalam tubuh saya. Rasa khawatir terhadap ayah saya bertambah saat orang-orang membincangkan peristiwa tersebut. Kemanakah ayah saya? Saya hanya diam takut menunggu kedatangan ayah saya. Hingga larut malam hingga saya kalah menahan kantuk saya.
           Keesokan harinya pagi-pagi sekali semua warga diusung dipulangkan ke tanah kampung masing-masing. Disitulah rasa cemas saya hilang. Ayah saya sudah kembali. Beliau tak bisa bersama saya, karena saat itu beliau harus membantu menyelamatkan para warga dan beberapa harta milik warga yang bisa diselamatkan. Menurut kata ayah saya, beliau bersama temannya TNI dari Jawa tidak bisa melawan atau melerai kejadian tersebut. Karena pengeboman itu sudah merambat jauh dan sulit untuk di hentikan. Ditakutkan, bilamana ayah saya bersama-sama teman-temannya TNI dari Jawa itu melawan, maka yang akan menjadi korban selanjutnya adalah orang Jawa bukan lagi warga Islam di Ambon. Orang Jawa itu tidak hanya yang berada di Maluku saja, melainkan bisa jadi orang asli warga Maluku mendatangi pulau Jawa dan menyerang seperti yang dilakukan di Ambon. Karena masa itu, penduduk asli orang Maluku masih terkenal sangat keras bila sudah terpancing amarahnya.
           Di dalam perjalanan kepulangan ke Jawa, yang hanya saya ingat adalah beradanya saya dalam pelukan ibu. Rasanya begitu nyaman dan aman. Di setiap perjalanan saya mengingat kejadian tersebut secara satu persatu. Saat orang lari-larian, udara penuh dengan asap, orang menangis, bahkan ditempat pengungsian pun warga tak boleh menyalakan lampu bahkan api lilin sekalipun. Larangan itu dilakukan baik saat siang maupun malam. Itupun ketika sedang kepepet, cahaya hanya boleh dari api lilin dan dinyalakan di dalam kamar mandi tertutup. Karena ditakutkan dengan adanya cahaya tersebut dapat mengundang musuh untuk datang dan membumi hanguskan.
Rasanya sedih sekali, saya tak bisa habis pikir bagaimana warga yang bukan karyawan PT PERSERO? Bagaimana mereka berlindung? Dan kepada siapa mereka meminta bantuan? TNI saja yang gagah berani tak bisa melerai apalagi melawan. Mungkin yang menambah mengiris hati saya lagi saat ini adalah kematian orang tua teman saya yang secara kebetulan saya kenal saat duduk di bangku SMA, beliau atau ayah teman saya yang menjadi TNI tersebut meninggal dunia saat ditugaskan tepat berada di Ambon di pusat pertingkaian. Beliau dengan segenap jiwa dan raganya telah mempertahakan keutuhan dan kesatuan NKRI. Semoga arwah beliau dapat diterima dengan baik di sisi Allah SWT.

·         My Life in Java
Setelah di Jawa kehidupan perekonomian keluarga saya berbeda. Roda sudah berputar, ayah saya memulai kehidupannya mulai dari nol kembali. Dengan tabungan yang di milikinya, beliau membuka usaha dagang namun pada akhirnya gagal karena banyaknya saingan yang ada di Jawa. Akhirnya dengan tabungan ladang yang dibelinya ketika di Maluku, beliau mulai bercocok tanam. Beliau kini menjadi seorang petani. Namun, dengan usahanya tani, beliau dapat menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat perguruan tinggi. Kakak saya telah di wisuda sejak tahun 2007 dari Unversitas Brawijaya jurusan pertanian. Dan kini saya sendiri masih mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Malang.
            Sejak kecil saya telah dididik bagaimana mencintai negeri ini dan pendidikan. Sejak tertanamnya itu semua, membuat saya semasa kecil berangan-angan untuk menjadi guru yang dapat mendidik bangsa ini dari kebodohan dan menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi akan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, agar tragedi seperti di Ambon dan tragedi-tragedi lainnya yang membawa kebobrokan pada bangsa ini tidak terulang kembali.
            Saya bersekolah di SDN Sambitan 02 tahun 2001-2006. Hal yang dapat saya rasakan ketika itu adalah tumbuhnya jiwa pemimpin yang tumbuh pada diri saya.  Sejak kelas 4 SD sampai kelas 6 SD, saya selalu menjadi ketua kelas. Saya tak pernah mempunyai rasa takut bahkan kepada lelakipun. Sempat dulu saya pernah bertengkar dengan teman laki-laki saya hanya karena saya membela teman laki-laki saya lainnya. Karena saya merasa anak laki-laki yang saya lawan tersebut telah meperbudak teman laki-laki yang saya bela. Itu sebabnya saya mempertanyakan keadilan dan hak seseorang, karena bahwasannya saya benci dengan segala bentuk penindasan walau dalam bentuk yang kecil.
            Kemudian saya meneruskan di SMP Negeri 1 Bandung, Tulungagung. Di SMP, saya berbeda jauh dari sifat SD saya yang sangat pemberani. Saya lebih pendiam seperti putri Solo. Ntah bagaimana saya punya rasa empati yang sangat tinggi terhadap orang-orang yang kurang mampu dan terhadap anak-anak kecil. Disinilah cita-cita saya mulai berubah. Saya ingin menjadi Bidan. Saya ingin menolong para ibu yang dengan segenap tenaganya melahirkan kehidupan yang baru dengan bertaruhkan nyawa. Dan saya ingin menjadi orang yang pertama yang menggendong makhluk Tuhan yang masih suci itu lahir dan tumbuh didunia ini dengan kedua tangan saya.
            Tahun 2010 saya masuk di SMAN 1 Campurdarat. Saat saya SMA, rasa pemberontak saya akan penindasan mulai tumbuh kembali. KKN yang merajalela se-akan membawa saya ingin lebih mengetahui bagaimana dunia politik sebenarnya. Saya mulai ikut oraganisasi-organisasi dengan tujuan melatih diri ke wacana politik. Namun sayang, di akhir sekolah keinginan saya terjun ke dunia politik ditolak mentah-mentah oleh ayah saya. Beliau lebih suka anaknya ini untuk terjun kedunia perkantoran seperti yang digelutinya dahulu. Sehingga saat pemilihan jurusan untuk ke jenjang perkuliahan, saya memilih jurusan yang berbau perkantoran yaitu administrasi perkantoran, Bidan di bidang kesehatan dan yang terakhir saya ambil dari cita-cita saya sejak kecil yaitu guru.
            Dan pada akhirnya Allah menjawab dan memberi jalan pada hidup saya. Saya di terima di Universitas Negeri Malang dengan jurusan pendidikan sejarah. Mungkin Allah membukakan jalan pada diri saya agar dapat menjadi guru yang baik, yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap bangsa serta sebagai seorang yang dapat membantu setiap insan mengingat kepada dahulunya. Agar mereka tak lalai saat mereka berada di atas dan berusaha berdiri saat berada di bawah. Dan yang mana itu saat semua terwujud saya bisa membawa setiap insan menjadi sebuah insan yang baru lagi lahir kedunia ini dengan kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.

“Bagaimana keperluan kehidupan saya? Alhamdulillah hingga saat ini saya serba kecukupan, dan tak pernah memerima bantuan dengan alasan tidak mampu baik dari biaya pendidikan maupun bantuan pemerintah untuk keluarga miskin. Adapun bila ada, saya ingin mendapatkan beasiswa dari jeri payah saya sendiri. Semoga perjalanan hidup saya kedepannya lebih cerah, semakin baik dan berguna bagi masyarakat”. Amin

BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
            Dalam perjalanan keluarga Cici Setiyowati sangat berliku-liku, selalu terjadi pasang-surut, dan kejadian tiap kejadian selalu datang menghampiri keluarga Cici Setiyowati. Namun kejadian-kejadian tersebut tidak membuat surut keluarga Cici Setiyowati untuk terus berupaya dan semangat dalam mempertahankan kehidupan di ranah lingkungan sosial dan di dunia pendidikan.
3.2 Saran
            Selain mengetahui bagaimana sejarah keluarga, perlu adanya perubahan sikap pada diri kita untuk menuju ke arah yang lebih baik. Dan hendaknya selalu berupaya untuk bangun dan tegar ketika sebuah permasalahan datang menghampiri kehidupan kita.


















DAFTAR RUJUKAN

Ihromi T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia anggota IKAPI DKI JKT atas bantuan USAID.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Tim Redaksi. 2008. Apakah Soeharto Pahlawan. Yogyakarta: Bio Pustaka
























LAMPIRAN

Selayang Pandang Keluarga Bapak Muslan

          CIMG2738.JPG
Tampak dari kiri foto bapak Susanto,             Aktifitas bapak Muslan selaku men- mbah Kanijah, mbah Supinah bersama           jadi mandor di PT. PERSERO
anaknya Enik Sri Astutik (saat masih-
Kecil), dan terakhir mbah Djuwari

CIMG2773.JPG     CIMG2774.JPG
Anak-anak asuh Ibu Sutini ketika di per-     Ibu Sutini bersama teman-temannya
Kejakan oleh PT. PERSERO                        ibu-ibu PKK

CIMG2783.JPG     
Saat lebaran di Maluku bersama para sa-    Rumah di Jawa hasil bangunan Bapak-
habat tampak yang bersaliman ialah           Muslan ketika masih berada di Maluku
Bapak Muslan dan Ibu Sutini.

         Cici Setiyowati ketika SMP (tampak- Cici Setiyowati ketika SD (tampak-         depan kanan foto)
bawah kiri foto.

Cici Setiyowati ketika SMA (tampak bawah depan nomor 3 dari kanan foto)

Cici Setiyowati ketika kuliah di Universitas Negeri Malang
(tampak bawah kanan foto)