SUBJEKTIVITAS, OBJEKTIVITAS, DAN
KEBENARAN DALAM SEJARAH
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pengantar
Ilmu sejarah
yang dibina oleh Ibu Indah W.P. Utami,
S.Pd. S.Hum. M.Pd
oleh
Hedda
Wahyu Ruhaiyah (130731615712)
Rika
Wulandari (130731615730)
Whan
Maria Ulfa (130731607242)
Tunggul
Alif P (130731615747)
Zainal Abidin (130731616733)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN
SEJARAH
September
2013
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI i
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 2
C. Tujuan
Penulisan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Subjektivitas Sejarah 3
B. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Subjektivitas Sejarah 5
C. Pengertian
Objektivitas 6
D. Unsur-unsur
Yang Harus Ada Dalam Objektifias 7
E. Kebenaran
Dalam Sejarah 8
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
10
B. Saran
10
DAFTAR
RUJUKAN ii
i
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Subjektivitas, ojektivitas dan kebenaran
adalah hal hal yang saling terikat dalam sejarah. Ketiganya memiliki peranan
yang begitu penting dalam penulisan sejarah. Subjektivitas dalam sejarah
merupakan suatu gambaran dari peristiwa sejarah yang di tulis oleh sejarawan.
Sedangkan objektivitas lebih mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan
tak bisa terulang lagi. Objektivitas haruslah sesuai dengan fakta dan harus apa
adanya, tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Semakin sedikit fakta yang kita
temukan semakin besar munculnya kemungkinan subjektifitas tersebut ataupun
semakin kecil unsur objektivitas semakin sedikitnya sehingga peran imajinasi
juga besar tetapi imajinasi-imajinasi itu harus berdasarkan bukti-bukti yang
ada sehingga peritiwa sejarah tersebut juga memilki kebenaran.
Dari
pengertian sobjektivitas dan objektivitas dalam sejarah pernah mengalami
perbedaan pendapat. Dalam buku yang berjudul mengerti sejarah karangan Louis
Gottschalk dijelaskan terdapat suatu prasangka kasar terhadap pengetauan
subjektif sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada pengetahuan objektif,
sebagian besar karena kata sobjektif telah memiliki arti khayalan atau di
dasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pribadi dan karenanya “tidak benar”
atau “berat sebelah”. Sehingga timbul anggapan bahwa kata sobjektivitas tidak
di pergunakan lagi.
Keduanya
yaitu subjektivitas dan objektivitas sama-sama mempunyai kelebihan dan
kekurangan, dalam tradisi ilmu pengetahuan biasanya akan objektivitas akan
menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas itu sendiri akan
menghasilkan pengetahuan kualitatif.
Sebagaiman
yang akan kita diskusikan pada makalah ini, tentang apa subjektivitas,
objektivitas dan kebenaran dalam sejarah itu, bagaimana hubungan
1
2
ketiganya
dalam sejarah khususnya untuk memahaminya pengertian dari ketiga istilah
tersebut, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam memahami. Sehingga
kita akan bisa lebih bijak dalam menyikapi subjektivitas, objektivitas, dan
kebenaran dalam sejarah, sehingga kita tidak akan mempermasalahkan perbedaan di
antara ketiganya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengertian dari subjektivitas dalam penulisan sejarah?
2. Bagaimana
faktor-faktor yang mempengaruhi unsur subjektivitas?
3. Bagaimana
pengertian dari objektivitas dalam penulisan sejarah?
4. Bagaimana
unsur-unsur yang harus ada dalam objektivitas?
5. Bagaimana
pengertian dari kebenaran dalam sejarah?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Mendiskripsikan tentang
makna dan pengertian dari sobjektivitas.
2.
Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi sobjektivitas, objektivitas dan kebenaran dalam
sejarah.
3.
Mendeskripsikan tentang
makna dan pengertian dari objektivitas.
4.
Menjelaskan unsur-unsur
yang harus ada dalam objektivitas.
5.
Mendeskripsikan tentang
makna dan pengertian dari kebenaran dalam sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Subjektivitas Sejarah
Subjektivitas
adalah gambaran dari suatu peristiwa yang sudah terjadi berdasarkan pandangan
seseorang yang diperngaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dengan
demikian subjektivitas itu dipengaruhi oleh individu masing masing, sehingga
apa yang dituliskan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Dalam
penulisan sejarah subjektivitas memang sering muncul, apalagi pada saat
sejarawan tersebut dihadapkan pada hal yang tidak jelas kronologisnya. Sehingga
mereka lebih mengedepankan hasil dari penalaran dari perasaan mereka. Suatu contoh
penjajahan di Indonesia, bagi rakyat Indonesia Negara Belanda itu menjajah Indonesia,
tetapi menurut pandangan Bangsa Belanda mereka tidak menjajah Indonesia,
melainkan membantu untuk memajukan Indonesia.
“Subjektivitas
dalam penulisan sejarah selalu hadir karena penulis sejarah (sejarawan) tidak akan
mampu mengungkapkan peristiwa sejarah ynag begitu kompleks yang pernah terjadi
pada masa lampau, hanyalah sebagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh
manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh penulisan sejarah. Karena merupakan
hasil rekontruksi dan bukan aslinya maka sejarah dikatakan subjektif. Setiap
pengungkapan atau penganggapan telah melewati proses “pengolahan” dalam pikiran
dan angan-angan seorang subjek. Kejadian sebagai sejarah dalam arti objektif
atau aktualitas diamati , dialami, atau dimasukan ke pikiran sebagai persepsi,
sudah barang tentu sebagai “masukan” tidak akan pernah tetap murni atau jernih
sebagai Ding an sich (benda
tersendiri) tetapi telah di beri warna
atau rasa sesuai dengan kacamata atau
selera subjek” (Sartono Kartodirjo, 1992:62).
3
4
“Adanya
subjektivitas sejarawan bisa dikatakan sudah bermula ketika seorang sejarawan
dihadapan pada pemilihan topik humaniora. Keberatan beberapa kalangan mengenai
di masukannya sejarah ke dalam kelompok ilmu-ilmu sosial terletak pada
penggunaan data-data sejarah yang sering kali merupakan penuturan orang, yang
siapa tahu bisa saja orang itu adalah pembohong” (Jujun S. Surya Sumantri, 2003:27).
Namun bagaimanapun juga perlu dipertegas bahwa subjektivitas dalam penulisan
sejarah tersebut merupakan dasar dari sebuah objektiffitas sejarah, sehingga objektivitas
dalam sejarah sulit terbentuk tanpa adanya subjektivitas sejarah, tetapi
kendati demikian subjektivitas tersebut harus sesuai dengan prosedur-prosedur
yang telah ditentukan, sehingga dapat dibedakan antara sejarah dengan hikayat
ataupun dongeng.
Subjektivitas
bukanlah sesuatu yang diharamkan pada saat penulisan sejarah, karenga tanpa objektivitas
tersebut suatu peristiwa tidak akan lengkap, sehingga subjektivitas itu
merupakan pelengkap suatu peristiwa melalui tafsiran-tafsiran dari suatu
peristiwa, karena pada saat peristiwa itu terjadi kita ataupun sejarawan
tersebut tidak berada dalam posisi ataupun keadaan yang sebenarnya.
Keberadaan
subjektivitas dalam sejarah tersebut tidak dapat dihindarakan, karena tanpa
subjektivitas kejadian sejarah tersebut tidak akan seperti nyata. Sehingga dari
sinilah kegunaan subjektivitas, yaitu sebagai pelengkap objek ataupun
bukti-bukti yang telah hilang.
Subjektivitas
merupakan hal yang wajar dalam penulisan sejarah, sebagai contoh kita dapat
melihat dari peristiwa G30S/PKI dalam peristiwa ini para ahli sejarah mempunyai
pendapat yang berbeda-beda, dari peristiwa ini saja kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa dalam sejarah subjektivitas merupakan suatu yang biasa terjadi
di kalangan para ahli sejarah terutama dalam mengintepretasi sejarah.
5
B.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Subjektivitas
Pada umumnya pada
metodologi sejarah, terdapat 4 faktor utama yang dapat menjadikan suatu
penulisan sejarah bersifat subjektif, adapun faktor-faktor tersebut adalah:
a. Pemihakan
secara pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau
tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang
dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.
b.
Prasangka kelompok (group
prejudice).
Di sini menyangkut
keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok, entah itu kelompok, bangsa, negara,
ataupun organisasi. Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan,
bangsa, dan agama) dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat
sunbjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah
c.
Teori-teori
bertentangan tentang penafsiaran sejarah (conflicting teoris of histirical
interpretation)
Pandangan atau ideologi
atau yang di anut sejarawan memegang peranan penting dalam menentukan subjektivitas
penulisan sejarah
d.
Konflik-konflik
filsafat yang mendasar (underlying pgilosiphical conflicts)
Secara teoritis seseorang yang menganut
filsafat hidup tertentu akan menulis sejarah berdasarakan pandangannya
tersebut.
Keempat
faktor tersebut merupakan faktor yang paling dominan yang bisa mempengaruhi
unsur subjektivitas seseorang, sehingga apabila seseorang sejarawan dihadapkan
pada sesuatu yang bersifat objektif, sejarawan itu harus meniadakan keempat
unsur tersebut.
6
C.
Pengertian
Objektivitas Sejarah
Objektivitas adalah suatu sikap yang
mengusahakan untuk memperoleh suatu kebenaran yang apa adanya mengenai objek
yang diamati oleh manusia tanpa melibatkan perasaan atau tafsiran terhadap
objek tersebut. Sikap objektivitas tidak akan di pengaruhi oleh pendapat
pribadi atau golongan di dalam pengambilan keputusan. Sehingga pada saat
penulisan suatu sejarah tersebut mereka tidak melibatkan rasa emosialnya maupun
perasaannya terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Misalkan seorang ahli
sejarah menulis tentang cerita suatu kerajaan, maka dia tidak akan
mengubah/memberikan penafsiran sendiri ke dalam peristiwa tersebut.
Mengenai subjektifitas dan objektivitas
dalam sejarah Drs. I Njoman Dekker, SH (1974:35) mengatakan sebagai berikut.
Adalah suatu tuntutan ilmiah bahwa suatu
uraian yang bergubungan dengan objek yang diselidiki itu, haruslah objektif,
peranan subyek, yang kemudian mengakibatkan adanya pandangan subyektip,
haruslah dihindarkan. Apalagi mengadakan interpretasi, yang sudah jelas
sifatnya mengadakan suatu penilaian yang tertentu terhadap obyek yang
diselidiki itu, haruslah di singkirkan.
Pada umumnya suatu peristiwa atau benda
dikatakan subjektif jika benda atau peristiwa itu dapat didengar, dilihat,
dikecap, ataupun dirasakan oleh panca indra kita. Karena pada umumnya kita
tidak berada dalam kejadian sejarah tersebut maka diperlukan interpretasi dan
fakta ataupun peninggalan sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itulah yang
disebut objek, baik yang bersifat artefak maupun dokumen tertulis seberti
prasasti. Sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan
diri pada objek dan berfikir secara objektif. Bukan karena adanya subjektivitas
sejarah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki kebenaran, justru karena adanya
subjektivitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas.
7
Fakta-fakta atau rentetan fakta inilah
yang kemudian mengantarkan pada suatu peristiwa yang nyata dan jelas, sehingga
bisa dipastikan semakin banyak fakta atau bukti yang ditemukan maka semakin
besar nilai keobjektivan suatu kisah tersebut, begitu juga sebaliknya semakin
sedikit fakta atau bukti yang ditinggalkan maka semakin besar unsur
kesubjektifan dalam dalam cerita tersebut.
Seorang sejarawan asal Amerika serikat,
Garraghan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objetivitas sejarah adalah :
a.
Objektivitas tidak
berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan
awal yang bersifat sosial, politis, agama dan budaya.
b.
Objektivitas tidak
berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua prinsip,
teori dan falsafah hidupnya.
c.
Objektivitas tidak berarti
menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap objeknya.
d.
Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari
penilaian atau penarikan konklusi.
e.
Objektivitas sejarawan
tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat
sesuai dengan kejadiannya.
D.
Unsur-Unsur
Yang Harus Ada Dalam Objektivitas
a.
Kebenaran mutlak
Kebenaran
mutlak merlupakan sesuatu yang tidak dapat terbantah lagi kebenarannya.
Misalkan dalam suatu peristiwa, peristiwa itu sudah jelas kapan, di mana, apa
dan siapa tokoh-tokoh dalam suatu peristiwa itu.
b.
Sesuai dengan
kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi
Bahwa
suatu kejadian tersebut sesuai dengan kenyataan atau yang biasa disebut dengan relevan.
c.
Tidak memihak atau
tidak terikat.Tidak memihak ataupun tidak terikat maksudnya suatu peristiwa atau
pengambaran suatu kisah tersebut tidak berat sebelah.
8
Dalam
penulisan suatu peristiwa sejarah yang hanya sekali dalam seumur hidup maka harus
lengkap dan tidak boleh dikurangi.
E.
Kebenaran
Dalam Sejarah
Kebenaran
memilki arti sebagai sesuatu yang di anggap nyata dan benar-benar terjadi.
Sedangakan pengertian kebenaran dalam sejarah itu sendiri menurut Louis
Gottschalk (1975:96) “kebenaran sejarah
dapat didefinisikan sebagai suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau
tidak langsung dari dokumen-dokumem sejarah dan dianggap kredibel setelah
pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah”.
Apakah ada
kebenaran dalam sejarah? Pertanyaan
mendasar seperti ini seringkali timbul ketika kita membaca sebuah uraian
sejarah tentang sebuah peristiwa. Namun kita seringkali mengabaikan arti dari
‘kebenaran’ dalam sebuah sejarah atau cenderung menganggap ‘kebenaran sejarah’
itu adalah apa yang diuraikan dalam uraian sejarah yang kita baca. Ketika
anggapan kita sebagai pembaca seperti itu, maka keadaan tersebut akan
menimbulkan suatu pandangan subjektif terhadap suatu peristiwa dan lebih parah
lagi akan menimbulkan fanatisme terhadap suatu ‘kebenaran’ dari satu atau
sekelompok sejarawan. Hal seperti ini menyebabkan pandangan keliru khalayak
terhadap peristiwa tanpa melihat sudut pandang lain sebagai pembanding. Selain
itu, paradigma seperti ini memberikan ruang untuk ‘memalsukan’ sejarah dengan
mempergunakan sejarah sebagai alat propaganda dalam peneybaran ideologi maupun
dalam usaha menjatuhkan lawan politik.
Oleh karena itu kebenaran dalam sejarah
merupakan sesuatu hal yang harus dipenuhi, karena apabila dalam sejarah
tersebut tidak mengandung unsur kebenaran sama sekali, maka sejarah tersebut
sama saja dengan mitos. Sehingga kebenaran dalam sejarah itu adalah sesuatu
yang mutlak harus terpenuhi. Bukan hanya itu. saja sejarah juga sebagai wadah
kita untuk mempelajari apa yang telah terjadi dimasa lalu, sehingga manusia
yang tidak tau sejarahnya adalah manusia
9
yang sedang hilang ingatan atau manusia
itu sedang omnesia. Kebenaran juga bisa dibuktikan dengan menggunakan sumber
tertulis (dokumen, arsip, prasasti), juga biasa menggunakan sumber sumber lisan
dari saksi saksi orang yang ada dan
kemudian dihipotesa, jika ada yang tidak sesuai dengan hipotesa tersebut, Maka
pernyataan itu patut diragukan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pembahasan diatas
diperoleh gambaran tentang beberapa penjelasan megenai subjektifitas, objektifitas,
dan kebenaran dalam sejarah, bahwa sanya sejarah tidak bisa terlepas dari
ketiga unsur tersebut. Dari pembahasan diatas juga kita mengetahui apa itu
objektif, subjektif dan kebenaran dalam
sejarah. Objektivitas adalah suatu sikap yang mengusahakan untuk
memperoleh suatu kebenaran yang apa adanya mengenai objek yang diamati oleh
manusia tanpa melibatkan perasaan atau tafsiran terhadap objek tersebut. Subjektivitas adalah gambaran dari suatu
peristiwa yang sudah terjadi berdasarkan pandangan seseorang yang diperngaruhi
oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dengan demikian subjektivitas itu
dipengaruhi oleh individu masing masing, sehingga apa yang dituliskan tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedangkan Kebenaran dalam sejarah memilki
arti sebagai sesuatu yang dianggap nyata dan benar-benar terjadi. Ketiga unsur
tersebut walaupun berbeda tetapi saling melengkapi dan ketiganya merupakan
bagian dari penulisan sejarah.
B.
Saran
Sebenarnya masalah subjektivitas,
objektivitas, dan kebenaran dalam sejarah tidaklah perlu dipertentangkan,
alangkah baiknya jika ketiga unsur tersebut saling berjalan dengan apa adanya.
Karena seperti uraian di atas ketiganya walaupun beda tetap mempunyai fungsi
masing-masing sehingga ketiganya bisa melengkapi satu sama yang lain.
10
DAFTAR
RUJUKAN
Dekker,
N. 1994. Aneka Ragam Tentang Sejarah.
Malang: IKIP Malang.
Gottschalk,
L. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Njoman,
I.D. 1974. Bunga Rampai Sejarah. Malang:Lembaga
Penerbitan “Almamater” YPTP IKIP MALANG.
Lukmanul,
C.H. 2012. Kebenaran Sejarah, (Online),
(http://ilmuhumaniora.blogspot.com/2011/04/kebenaran-sejarah.html),
diakses 10 September 2013.
ii